“Aku berpikir, maka aku ada.” Melalui idenya ini, saya menganggap René Descartes sebagai pionir pengidap autis yang non-abnormal. Heheheh…jangan salah, penanugerahan gelar dari saya itu, cenderung pujian, bukan hinaan. Sah dong kalau saya menterjemahkannya secara subjektif. Pada konteks ini, saya menilai monsieur Descartes berada pada posisi orang yang layak saya beri penghormatan. Saya angkat topi buat dia. Dia mengajarkan kita rendah hati, namun tidak dengan kepala kosong. Di dunia materialistik seperti sekarang ini, semuanya ‘kan diukur . Berapa harga jam tangan anda, berapa duit mobil yang anda punya, berapa nilai benda yang melekat di tubuh anda dari ujung rambut sampai ujung kaki? Sejalan dengan itu, sesuai dengan hukum materi, semakin tinggi nilainya, maka semakin unggulah ia.
Tapi bagaimana mengukur pikiran? Apa satuannya dan apa indikatornya. Bagaimana pula kita menilainya ? Nilainya akan ada setelah hal tersebut di-ejawantahkan. Menjadi sesuatu yang tertangkap oleh indera. Materi juga dong? Iya, tapi melalui sebuah proses. Eksistensi yang muncul kemudian terlahir karena niscaya ia akan ada, bukan dipaksakan. Bedanya, jika yang pertama tampil cendrung ingar bingar, genit, sensasional dan menarik perhatian, yang dilakukan lewat ide Descartes justru senyap adanya, namun kaya substansi. Tidak ambil pusing dengan perlunya kita menjelmakan keunggulan kita (atau mencitrakan diri bahwa kita unggul dimata sekeliling), dengan berbagai cara yang kasat mata, Descartes malahan mengajak kita untuk merefleksi kedalam. Berpikir ketimbang bicara, berpenampilan atau bertingkah laku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar